SAYA tak mau anak-anak saya memulai hidup dengan susah seperti dulu saya memulai segalanya di usia mereka.
Saya tak ingin anak-anak mencapai tingkat pencapaian yang jauh di atas saya, karena toh mereka memulai pada titik yang jauh lebih baik.
Saya ingin dan telah memberikan segala yang terbaik pada anak-anak dan itulah salah satu keberhasilan saya dalam hidup saya.
Stop. Daftar kalimat seperti itu bisa sangat panjang. Ya, ini soal kita yang menua dan anak-anak kita yang mulai punya kehidupannya sendiri.
Tiga contoh di atas adalah contoh ketakutan terselubung. Kita mengatakannya seakan itu adalah itikad baik. Betul itu semua baik dan bentuk dari tanggung jawab kita sebagai orang tua.
Yang kita sering lupa adalah, anak-anak adalah juga manusia mandiri. Ya, itu. Manusia mandiri. Tugas kita adalah mempersiapkannya menjadi mandiri. Menjadi diri mereka sendiri, yang berkuasa penuh atas pilihan dan keputusan mereka sendiri.
“Saya kurang percaya pada mereka, dunia ini berubah, tak seperti kita dulu,” sergah kawan saya.
Eit, kalau itu jawabannya, maka itu juga alasan untuk menolaknya. Dunia berubah. Kita yakin bahwa kita adalah orang yang paling tahu dan paling bisa menyesuaikan diri dengan dunia yang berubah ini?
Kita memang sudah menjalani kehidupan lebih dahulu. Itu saja keunggulan kita dibandingkan anak-anak kita. Tapi kita bukan yang paling tahu apa yang akan terjadi.
Kawan saya memotong, “Oh, jadi kita tak punya masa depan lagi? Masa depan itu bukan milik kita lagi?”
Tentu saja punya. Tapi masa depan kita dan anak kita berbeda. Tapi jangan juga karena itu kita merasa tak dianggap. Tak dihargai. Sekali lagi tugas kita adalah menyiapkan anak-anak kita mandiri dan mengantar mereka menjadi diri mereka sendiri.
Itu juga tugas kita pada diri kita. Kita harus meneruskan hidup sebagai manusia mandiri dan menjadi diri kita sendiri.
Saya ingatkan kawan saya tentang petikan prosa liris Gibran:
Anakmu bukanlah anakmu. Mereka putera-puteri Kehidupan yang rindu kehidupan itu sendiri. Mereka datang melaluimu namun bukan darimu. Dan meski mereka bersamamu namun mereka bukan milikmu.
Kau boleh memberi mereka cinta tapi bukan pikiranmu. Sebab mereka punya pikiran sendiri. Kau bisa memberi tempat bagi raga tapi tidak bagi jiwa mereka. Sebab jiwa mereka hidup di rumah esok yang takkan mampu kau singgahi sekalipun dalam mimpi.
Kau boleh berikhtiar untuk menjadi diri mereka namun jangan pernah berupaya menjadikan mereka seperti dirimu. Sebab hidup tak berjalan mundur ataupun teronggok di masa silam.
Titik terbaik dalam hidup kita, dalam kaitan hubungan kita dengan anak-anak kita adalah ketika kita menjadi seperti teman yang berbagi keceriaan, saling percaya, dan pada saat yang sama dengan takzim hormat mencium tangan kita.
What do you think?