Sebuah kebohongan pasti berujung pada kekecewaan. Sehingga tak heran, kalau bagi mayoritas orang, berbohong adalah sebuah perbuatan berdosa dan bercela.
Namun, setiap manusia pernah berbohong. Entah karena melakukan kesalahan, atau mungkin berbohong dengan alasan untuk sebuah kebaikan. Kebohongan yang satu ini dikenal dengan istilah white lie.
Lantas apa sebenarnya white lie itu? Dan apakah wajar melakukannya?
White lie pada dasarnya adalah kebohongan yang dilakukan dengan alasan kebaikan orang lain atau sesuatu. Biasanya, orang yang melakukan ini sudah berpikir bahwa dampak yang muncul nantinya akan berpengaruh baik pada orang yang dibohongi.
Salah satu contohnya adalah ketika para orang tua mengatakan bahwa Santa Claus nyata dan akan mengirimkan hadiah setiap malam Natal. Padahal Santa Claus tidak nyata dan yang mengirimkan hadiah adalah para orang tua sendiri. Itulah white lie.
Istilah ini sendiri muncul pada sekitar abad ke-14 di mana pada saat itu ada pembedaan warna. Pada zaman itu, putih disimbolkan sebagai ‘murni secara moral’ dan hitam disimbolkan sebagai ‘niat jahat’.
White lie dianggap wajar karena seringkali tidak berbahaya. Biasanya, ini dilakukan juga untuk menunjukkan perilaku sosial yang baik. Sebagai contohnya:
- Memuji seseorang bahwa mereka tampil menawan dengan pakaiannya
- Mengatakan “on the way ya” padahal Anda masih bersiap
- Tertawa pada hal-hal yang sebenarnya tidak lucu
- Mengaku kelewatan mengecek chat yang dikirimkan kepada Anda
Intinya, white lies dibuat dengan tujuan yang menguntungkan, baik untuk orang yang berbohong maupun yang dibohongi. Apalagi jika sebuah kebohongan dibuat untuk kebaikan orang banyak. Berbeda dengan kebohongan sebenarnya yang kadang terkandung niat jahat.
Jadi, kembali kepada Mahapuan sendiri yah. Apakah bagi Mahapuan white lies itu wajar?