Ada satu bahaya yang nyata, tapi sering tidak kita sendiri: keyakinan-keyakinan kita. Salah satunya adalah ageisme.
Ageisme adalah stereotipe, prasangka, dan diskriminasi kepada orang lain yang didasarkan pada umur. Stereotipe berarti cara kita berpikir; prasangka adalah cara kita merasa; diskriminasi merujuk pada apa yang kita lakukan.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), setengah populasi dunia punya ageisme terhadap lansia. Contoh yang paling sering temui: Ada batas maksimal usia ketika ingin melamar sebuah pekerjaan. Atau kesempatan memperoleh peningkatan skill di perusahaan berkurang seiring bertambahnya usia.
Ageisme bisa membatasi kemampuan seseorang. Misalnya, seorang lansia bisa saja percaya bahwa dia memang tidak berdaya akibat pandangan orang-orang di sekitarnya.
Bahkan, menurut WHO, ada korelasi antara ageisme dan angka harapan hidup manusia. Ageisme diasosiasikan dengan kematian lebih awal (7,5 tahun), kesehatan mental dan fisik yang buruk, serta pemulihan yang lebih lamban di usia tua.
Masih menurut WHO, ageisme juga meningkatkan perilaku kesehatan yang berisiko, seperti makan makanan yang tidak sehat, merokok, hingga minum alkohol secara berlebihan.
Tak hanya itu, ageisme juga berdampak pada ekonomi. Sebuah penelitian di Australia, misalnya, memperkirakan negara itu bisa mendapatkan tambahan pendapatan bruto AUD$48 miliar (sekitar Rp 500 T) jika saja 5% atau lebih dari orang-orang berusia 55 tahun ke atas dipekerjakan.
Memerangi butuh usaha yang sistematis, mulai dari mengubah kebijakan publik hingga membuat produk hukum. Namun, ada satu hal sederhana yang bisa mulai Mahapuan lakukan: membuktikan kepada orang sekitar bahwa mitos-mitos mengenai usia tua itu salah, bahwa kita masih bisa menikmati hidup dan berkontribusi terhadap orang-orang sekitar kita.
What do you think?