SEHARUSNYA kita sangat siap memasuki usia tua. Kenapa? Karena kita sudah tahu benar bahwa – seperti semua orang – kita pasti menua. Karena kita tahu benar bahwa perjalanan untuk sampai ke usia tua itu tak pernah berhenti, berjalan dari hari ke hari.
Kultur kita pun mengingatkan hal itu. Ada pantun jenaka dari masyarakat Betawi.
kelapa muda kupas-kupasin
kelapa tua tinggal batoknya
selagi muda puas-puasin
sudah tua tinggal bongkoknya
Jenaka memang, tapi penuh makna. Ini soal kontradiksi usia tua dan usia muda. Pantun ini sebagaimana karya sastra yang baik lainnya, bukan sekadar permainan kata dan rima.
Pantun ini mengekalkan makna, membingkai nasihat baik. Bahwa apabila kita tak mempersiapkan diri, hidup seenaknya di usia muda, ibarat kelapa muda yang sudah dikupas atau bahkan dibelah, maka ketika tua, kita kemungkinan besar tak akan bisa menjadi orang tua yang berharga.
Ibarat kelapa, tinggal batok atau tempurung, padahal kelapa tua itu dihargai karena mengandung santan yang kental dan berminyak.
“Usia tua,” kata Presiden Amerika Theodore Roosevelt, “sama saja dengan segala hal lain. Untuk berhasil, engkau harus mulai mempersiapkannya sejak muda.”
Dua hal bisa kita garis bawahi di situ: sukses di usia tua, dan persiapan sejak muda.
Tapi bagaimana kalau kita telanjur sudah melewati masa muda itu? Tengok lagi apa-apa yang sudah kita lakukan di usia muda dulu yang sebenarnya baik untuk kita tapi terpaksa tidak kita lanjutkan karena satu dan lain hal padahal sebenarnya menuju ke satu titik di mana kita seharusnya berada, bangga, dan bahagia di usia tua.
Saya ingat, almarhum Prof. Kuntjoroningrat ketika pensiun menyatakan ingin kembali melukis, hobi yang selama masih aktif sebagai akademisi ia abaikan.
What do you think?