TAK ada salahnya mengatakan “saya sudah tua”. Tak ada salahnya mengingatkan diri bahwa kita memang tak lagi muda.
Asal jangan menjadikan itu sebagai hukuman, atau alasan untuk tidak melakukan apa-apa. Itu yang salah.
Teman saya bertanya, “Memangnya ada ya orang yang menghukum diri sendiri karena tua? Gimana tuh?”
“Banyak,” jawab saya, “lihat saja, teman-teman kita juga.”
Kami mengingat satu per satu, kami sampai pada satu nama. Sebut saja Si A. Dia yang pensiun dari sebuah BUMN lantas seperti menghilang dari pertemanan.
“Dia bertani di Sukabumi kan?”
“Iya, tapi kenapa menghilang? Apakah bertani itu memalukan? Apakah itu lebih hina dari pekerjaannya yang mentereng di BUMN mentereng itu?”
“Saya dengar kebunnya gagal. Terus terlilit utang juga, terus ketipu investasi bodong gitu,” kata teman saya.
“Dia terlalu cemas. Kecemasan itu datang dari rasa bangga yang keterlaluan dan terlalu mengidentikkan diri dengan pekerjaannya, tepatnya dengan perusahaan negara tempat dia bekerja hampir 30 tahun itu, sehingga ketika harus pensiun dia kayak kehilangan diri sendiri,” kata saya.
“Salahnya apa?”
“Kita harusnya loyal pada profesi kita, pada diri kita, bukan pada tempat kita bekerja.”
“Bukannya kita harus loyal pada institusi di mana kita bekerja?”
“Harus. Selama institusi itu menghargai profesi kita. Kita juga harus ingat bahwa pada saatnya kita akan keluar tapi kita tetap kita dengan profesi kita itu tanpa harus berada di institusi itu.”
“Lalu apa hubungannya dengan usia tua?”
“Hubungannya jelas. Tua, perasaan menjadi orang yang tua, sering kali dijadikan alasan untuk menghukum diri, membatasi diri, mengekang diri. Menjadi tua seakan-akan membuat orang harus berubah menjadi orang lain, menjadi orang yang lain. Menjadi orang yang bukan diri kita sendiri.”
“Oke, saya paham,” kata teman saya, “ketika kita tua, kita adalah kita yang telah berpengalaman menjadi diri kita sendiri. Kita yang harusnya semakin tahu bagaimana kita harus menjadi diri kita sendiri. Kecuali…”
“Kecuali apa?” sergah saya.
Sambil nyengir teman saja bilang, “Kecuali kalau selama ini kita tidak menjadi diri sendiri.”
“Tak apa-apa. Justru saatnya kini kita melepaskan topeng itu, menjadi diri kita sendiri.”
What do you think?