MENUA, memasuki usia senja, pasti tak terelakkan, dalam hitungan. Tapi banyak jebakan yang harus dihindari, stereotipe sosial tentang orang berusia tua, kecenderungan kita menghukum diri sendiri dengan kepantasan yang kadang jadi konvensi kuno, tuntutan untuk tak lagi terlalu ngoyo menjadi diri sendiri, adalah beberapa hal yang bisa disebutkan.
Saya teringat sajak Amy Lowell (1874-1925). Penyair besar Amerika ini tak terlalu panjang usianya. Tapi jejak kehidupan perempuan, kelahiran Brooklyn, Masssachusetts, yang meninggal di kota yang sama pada usia 51 tahun ini panjang dan dalam.
Sajak-sajaknya, antara lain yang saya diterjemahkan di bawah ini, mengingatkan saya kata-kata penyair Italia, Salvatore Quasimodo, peraih anugerah Nobel Sastra 1959, “politisi menyuruh orang berani menentang mati, penyair mendorong orang berani mengarung hidup.’
Pada sajak “Interlude”, Amy Lowell mengajak orang menerima hidup, menikmati apa yang indah yang diberikan oleh kehidupan, tapi juga bersiap menerima dan menghadapi saat ketika segala kebaikan berakhir atau berlalu. Ia katakan: Kukira, ketika tirai turun dan kita tutupkan pintu. Malam akan bersalin pada kelam.
Tapi, katanya, tidak di ruang dalam. Itulah metafora dari hati atau jiwa. Bait penutup itu mengutuhkan seluruh nilai kebaikan yang hendak ditawarkan oleh penyair.
Interlude
Setuang kue matang sudah terpanggang
Sangrai kacang almon kutabur kutebar;
Ranum strawberi: petik saja hijau mahkotanya
lalu sajikan, membasung, di piring biru-kuning;
Helaian linen telah pun rapi, halus kukelim;
Lalu setelah itu?
Esok, kelak pun sama serupa:
Kue dan buah strawberi,
Jarum menjelujur, masuk keluar sekujur.
Ketika surya tampak indah jatuh pada bata,
Bulan ternyata jauh lebih mempesona,
Sinar silang menembus cabang-cabang plum;
Sang bulan,
Masih bertahan,
Di atas wajahmu.
Engkau berpendar, Sayang,
Engkau dan sang bulan.
Tapi manakah yang sekedar bayang?
Jam sebelas berdentang.
Kukira, ketika tirai turun dan kita tutupkan pintu,
Malam akan bersalin pada kelam.
Tapi tidak di ruang dalam.